pedesaan turki
19 Agustus 2019

PLUS DAN MINUS TINGGAL DI PEDESAAN TURKI

By metinvia

Beberapa waktu yang lalu kami mengisi liburan singkat akhir pekan untuk pulang ke kampung halaman keluarga suami di sebuah desa di Turki. Kebetulan, ada anggota keluarga dari Indonesia yang mengunjungi kami di sini. Lalu kami memutuskan untuk memperkenalkan gimana keadaan dan situasi pedesaan di Turki. Meskipun doi terbilang jarang pulang ke desa, paling sekali dua kali saja dalam setahun, tapi kami sudah merencanakan bahwa khusus tahun ini kami akan cukup sering menyambangi desa. Pertama sewaktu kepindahanku ke Turki, lalu saat hari raya Idul Fitri, kemudian kunjungan ke desa bersama tamu keluarga dari Indonesia, dan terakhir untuk Kurban Bayram tahun ini.

Keluarga suami berasal dari sebuah desa di Canakkale (dari simbah). Sebagian besar keluarganya yang tua-tua masih bertahan di pedesaan sedangkan para generasi muda hijrah ke beberapa kota di Turki. Sama seperti di Indonesia bahwa istilah “kacang jangan lupa kulitnya” juga berlaku di Turki. Jadi, tidak heran semisal liburan musim panas atau bayram atau acara-acara keluarga, banyak orang yang memutuskan untuk balik kampung menjenguk keluarga di desa.

Kehidupan di pedesaan Turki cukup sama dengan pedesaan di Indonesia seputar bercocok tanam dan berternak. Beberapa kali balik ke Köy  (desa Turki), ada beberapa plus dan minus dari pengalaman yang saya rasakan di sana.

PLUSNYAAAA…

  1. Alami, sejuk dan tenang

Pedesaan turki umumnya tenang, sejuk dan alami. Meskipun tanah mungkin terlihat tandus/gersang, namun tanaman hijau masih banyak sepanjang mata memandang. Dimana-mana banyak pohon, ladang, sejuk dan bebas dari rasa sumpek perkotaan. Udara segar, bebas dari polusi dan hidup tentram biasanya menjadi alasan orang untuk tetap bertahan hidup di desa dibanding di kota.

  1. Rumah napak tanah dengan halaman luas

Sama seperti pedesaan di Indonesia pada umumnya, pedesaan di Turki juga tak luput dari rumah napak tanah dengan halaman luas, ternak, juga kebun-kebun sayur maupun buah. Beberapa rumah di desa juga ada yang berbentuk apartemen dengan ketinggian cukup dua atau tiga lantai saja. Pemilik bangunannya tentu masih dalam satu keluarga. Berbeda dengan di kota yang mana kuasa kepemilikan bangunan belum tentu hanya dari satu keluarga saja. Menariknya lagi, jika diperhatikan di pedesaan Turki sering kita dijumpai rumah-rumah biasa namun sudah memanfaatkan panel surya untuk mencukupi kebutuhan dalam keseharian.

  1. Makanan produksi sendiri (sayur, buah dan ternak)

Sayur mayur, buah bisa didapat dari kebun sendiri tinggal petik. Susu, yogurt, diolah dari hasil perahan hewan ternak peliharaan. Tetangga/keluarga lain masih suka memberi, atau terkadang masih ada ‘tukar bahan makanan’. Misalnya, keluarga A menanam tomat, keluarga B menanam timun. ‘Barter’ keduanya masih sangat mungkin ketika sama-sama membutuhkan (tapi sudah jarang sih). Yang jelas, mereka mengambil bahan/olahan makanan dari hasil produksi sendiri dan tidak sepenuhnya bergantung dari market-market di luaran.

Nah hidup di desa kita harus siap tenaga bantu-bantu mengurus ladang dan ternak karena dua hal ini menjadi segalanya buat mereka. Di desa saya belajar gimana menggembala kambing, memeras susu, membuat yogurt juga keju, dan banyak lagi. Iya tapi sekarang sudah lupa wkwk

  1. Dekat dengan alam dan hewan

Beberapa orang desa pernah bilang ke saya alasan untuk tetap bertahan di desa adalah karena pedesaan itu masih natural juga tenteram dan efek untuk kesehatan diri akan lebih baik dibanding hidup di kota yang bising. Ada juga yang berkata bahwa di desa orang bebas memelihara hewan sedangkan di perkotaan (flat/apartemen) tentu terbatas atau bahkan dilarang. Satu bagian yang saya suka ketika berada di desa yaitu bermain bebas bersama hewan-hewan mulai dari kucing, anjing, kambing, sapi, yang mana tidak saya rasakan di perkotaan.

  1. Air melimpah

Air di pedesaan cenderung lebih melimpah. Orang-orang Turki di desa banyak menggunakan air untuk irigasi tanaman. Selain itu kalau teman-teman ke pedesaan Turki, pasti tidak asing dengan çeşme[1] yang lebih banyak dijumpai termasuk di pinggir-pinggir jalan. Di perkotaan, çeşme sebenarnya juga sering dijumpai tapi lebih ke daerah-daerah tertentu, misalnya area wisata, pemakaman,dll. Untuk jalanan umum di perkotaan tidak banyak dijumpai çeşme.

MINUSNYAAA…

  1. Akses susah

Biasanya pedesaan dan perkotaan Turki wilayahnya luas. Dari pedesaan ke kota jaraknya cukup jauh tergantung keberadaan desa juga. Desa keluarga suami dari Merkez (pusat kota) kurang lebih satu setengah-dua jam jalur darat. Susahnya tinggal di desa itu kalau mau kemana-mana rempong, mobilitas terbatas. Tempat umum seperti terminal, rumah sakit, mall, bioskop dll ada di sekitar distrik yang mana butuh cukup waktu dari pedesaan Turki. Market-market seperti BIM, A101 (Ind*maret dan Alf*maretnya Turki) dan sebagainya juga tidak ada di pedesaan.

  1. Transportasi kurang memadai

Transportasi menjadi hal yang sangat penting ketika memutuskan untuk pergi liburan ke pedesaan Turki. Segala transportasi umum sifatnya terbatas. Mini bus beroperasi tiap beberapa jam sekali. Transportasi umum yang kurang memadai ini sering saya keluhkan karena kebanyakan buang-buang waktu untuk menunggu. Menunggu transportasi di pedesaan tentu berbeda rasanya dengan menunggu transit di bandara. Soal transportasi di pedesaan ini kalau tidak membawa kendaraan sendiri memang harus banyak-banyak bersabar.

  1. Masyarakat kolot

Permasalahan ketika bersinggungan dengan masyarakat pedesaan di Turki yaitu soal cara pandang dan berpikir. Warga pedesaan di Turki pada umumnya tidak hanya konservatif tapi lebih ke ‘kolot’ dan terkadang tidak mudah menerima budaya baru. Mereka berpikir bahwa merekalah yang selalu benar dan orang lain dengan cara yang berbeda tampak tidak benar. Dalam beberapa kesempatan pada awalnya saya harus menyesuaikan seperti mereka, yang mana saya merasa tidak nyaman atau merasa bukan menjadi diri saya. Hal yang paling menyebalkan adalah ketika keluarga (mertua) tidak mempermasalahkan sesuatu dan maklum terhadap saya yang seorang yabancı[2] ini, tetapi anggota keluarga besar malah ikut mengatur dalam beberapa hal. Itu dulu di awal, sekarang saya sudah punya taktik tersendiri untuk menghadapi kekolotan mereka :DDDD

  1. Suka bergosip

Jangan salah… masyarakat pedesaan di Turki kalau sudah bergosip tidak kalah dengan jari netijen Indonesia. Pedes, julid, ‘nyelekit’ ghibah sana-sini ala ibu-ibu komplek rumahan di Indonesia. Ketika pikiran yang kurang terbuka, kolot, disertai ghibah gossip sana-sini, lengkaplah sudah mereka ibu-ibu atau simbah-simbah Turki pedesaan ini. Bagi mereka semua hal bisa menjadi bahan gossip. Mau dari persoalan kecil ke hal yang paling private juga dibahas, misalnya wanita di desa nggak nikah-nikah dibilang perawan tua, soal warisan, acara kawinan, hingga cara hidup dan cara berpakaian seseorang. Saya pun pernah jadi ‘korban’ gossip ibu-ibu desa di Turki karena dulu awalnya saya ‘manut’ alias nurut disuruh pakai şalvar[3] lalu menolak karena kurang nyaman. Saya akali dengan selalu pakai rok kalau keluar atau celana longgar (bukan jeans) dengan outer panjang). Selain itu saya sering dinasehati oleh simbah-simbah tua di desa untuk memakai perhiasan emas-emasan kalau berkunjung ke rumah saudara atau ada acara tertentu. Saya terkadang mamakai satu atau dua untuk ‘ngayem-ayemi’ mereka, tapi masih saja kurang wkwk. Dasarnya saya ngeyel dan tidak suka memakai perhiasan, jadi masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bahkan sekarang saya memutuskan tidak memakai perhiasan kalau kondangan. Suami tidak pernah komplen soal perhiasan ini karena kami sama-sama nggak suka dengan budaya pamer Turki yang satu ini. 

  1. Susah sinyal

Sama halnya di Indonesia. Hanya beberapa provider yang sinyalnya tidak hilang di pedesaan Turki. Turkc*l ibarat Telk*mselnya Turki biasa menjadi harapan terbesar ketika berada di desa. Itupun kadang hilang-muncul tidak tentu. Saya pernah liburan Eid ke desa waktu itu belum ganti nomor WA (masih pakai nomor WA Indo) punya pengalaman buruk soal sinyal. Karena di desa tidak ada wifi, HP tidak bisa dipakai untuk internet. Buka Instagram masih bisa meskipun teramat sulit, tapi Whatsapp sama sekali nggak bisa. 9 hari saya berada di desa tanpa Whatsapp dan pinjam HP untuk komunikasi dari IG. Kalau ingin lancar internet saya perlu keluar rumah atau pergi menuju daerah distrik. Susah sinyal ini tergantung seberapa terjangkaunya rumah/desa dari jaringan internet. Mungkin di pedesaan kota-kota lain tidak seburuk sinyal di desa mertua di Canakkale.

 

Kalo ditanya, “enakan tinggal di kota atau di desa?” tentu saya bakal menjawab “di kota”. Bukan soal apa-apa, tapi lebih ke soal kemudahan akses dan mobilisasinya. Untuk keadaan saya saat ini yang merantau ke negeri orang, desa dan kota tentu amat berbeda. Saya lebih memilih tinggal di kota meskipun misal kota kecil atau suburban pinggiran asalkan masih terjangkau. Tidak dipungkiri bahwa kehidupan itu kompleks, yang saya rasakan sesusah-susahnya tinggal di kota pinggiran meskipun mengontrak tetap lebih bersyukur dari pada di desa meskipun ada rumah sendiri. Hidup di Köy itu berat, saya rasa saya nggak akan kuat wkwk. Apalagi untuk orang Indonesia yang sudah biasa suka gerak kesana-kemari, kehidupan monoton di Köy  pasti terasa membosankan. Tentu kita butuh ruang dan hiburan lebih untuk bisa ‘berdamai’ dengan diri sendiri. Di kota banyak alternatifnya, sedangkan di desa akan stress di situ-situ aja. 

 

Itu menurut saya… kalau menurut teman-teman gimana?

 


[1] Çeşme (fountain)= sumber atau mata air di Turki, biasa untuk minum, baik melalui kran air atau saluran air dari pegunungan

[2] Yabancı = orang asing

[3]  Şalvar = celana tradisional Turki, mirip celana Aladdin